Jumat, 26 Juni 2009

KI AGENG NGALIMAN DALAM SEJARAH

Berdirinya sebuah negara atau daerah termasuk Nganjuk yang dikenal sebagai Bumi Anjuk Ladang, tentu tidak terlepas dari sejarah perjuangan masa lampau, para leluhur, atau nenek moyang yang telah babad alas, hingga tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini.
Pada saat para wisatawan yang akan menikmati indahnya air terjun Sedudo, di dekat pintu gerbang obyek wisata akan menjumpai lokasi makam yang disebut makam Ki Ageng Ngaliman. Bagaimana sejarhnya ?.
Berdasarkan data dan informasi yang direkam oleh Tim Penelusuran Sejarah Ngaliman yang melibatkan berbagai nara sumber baik yang berada di daerah Ngliman antara lain Mbah Iro Karto (sesepuh masyarakat), Drs. Sumarsono (Kades Ngliman), Parmo (Mantan Kades Ngliman) , Suprapto (mantan Kades Sidorejo), Imam Syafi’i (Juru Kunci Makam), Sumarno (Kamituwo), Sarni (Jogoboyo) maupun nara sumber yang berada diluar daerah Ngliman antara lain Kyai Ahmad Suyuti (Ngetos), KH. Qolyubi (Keringan), KH. Moh. Huseini Ilyas (Karang Kedawang , Trowulan Mojokerto). KH. Moh. Huseini Ilyas ini merupakan salah satu keturanan Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon, maka tersusunlah tulisan seperti di bawah ini.
Di Desa Ngliman terdapat dua makam yang sama-sama disebut Ki Ageng Ngaliman. Akan tetapi guna membedakan kedua makam tersebut maka digunakan sebutan :
a. Makam Gedong Kulon ;
b. Makam Gedong Wetan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon
Ki Ageng Ngaliman dimakamkan di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan + 50 Meter sebelah selatan Balai Desa Ngliman. Beliau dimakamkan bersama-sama dengan para sahabat dan pengikutnya. Dalam satu kompleks bangunan makam tersebut terdapat enam makam antara lain :
a. Ki Ageng Ngaliman ;
b. Pengeran Pati ;
c. Pangeran Kembang Sore ;
d. Pangeran Tejo Kusumo ;
e. Pangeran Blumbang Segoro ;
f. Pangeran Sumendhi.
Menurut nara sumber dari Ngliman bahwa di pintu depan Makam Ki Ageng Ngaliman terdapat gambar bintang, kinjeng, ketonggeng, burung dan bunga teratai. Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya.
Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah. Ketika Surakarta digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi. Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang Kedawang Trowulan Mojokerto.
Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21 orang. Keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas. Perang di Solo tersebut melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada sekitar tahun + 1720 M. (sumber : KH. Qolyubi).
SILSILAH KI AGENG NGALIMAN menurut KH. Huseini Ilyas adalah RONGGOWARSITO ----- NUR FATAH ----- NUR IBRAHIM ----- SYEH YASIN SURAKARTA ----- NUR NGALIMAN/ SENOPATI SUROYUDO ----- MUSYIAH ----- I L Y A S ----- KH. HUSEINI ILYAS (TROWULAN MOJOKERTO)
Perjalanan Hidupnya KH. Qolyubi tokoh ulama asal Kelurahan Mangundikaran itu berpendapat bahwa aktifitas yang dilakukan Ki Ageng Ngaliman adalah untuk mempersiapkan perjuangan melawan Belanda dengan diadakan pelatihan fisik dan mental yang bertempat di Padepokan yang sampai saat ini disebut Sedepok, dan di Sedudo yang letaknya di Puncak Gunung Wilis. Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan Surakarta.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang merupakan wilayah kasultanan Mataram. Sehingga terjadilah kepercayaan bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.
Dalam perjalanan waktu menurut cerita bahwa desa Kuncir asal usulnya dari murid Ki Ageng Ngaliman yang meninggal dalam perjalanan di tempat tersebut, dia adalah seorang cina yang waktu itu cina memakai rambut yang dikuncir/dikepang sehingga tempat meninggalnya murid Ki Ageng Ngaliman tersebut di sebut Desa Kuncir.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ki Ageng Ngaliman merupakan seorang Kyai yang mempunyai keahlian nggembleng ulah kanuragan keprajuritan. Bagi masyarakat Ngliman, karomah yang dirasakan sampai saat ini adanya ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya.
Mengingat Ki Ageng Ngaliman yang mempunyai keahlian neggembleng ulah kanuragan keprajuritan maka banyak pusaka yang ditinggalkannya. Ki Ageng Ngaliman masih mempunyai peninggalan berupa tanah di depan Masjid Ngaliman sehingga oleh perangkat dusun waktu itu tanah tersebut dibangun sebuah tempat yang disebut dengan Gedong Pusaka dan peninggalan pusakanya Ki Ageng Ngaliman di tempatkan di Gedong pusaka tersebut. Sebenarnya pusaka Ki Ageng Ngaliman cukup banyak tetapi ada yang dicuri orang sehingga yang ada di Gedong Pusaka saat ini hanya ada beberapa pusaka.
Berdasarkan nara sumber dari Ngliman bahwa yang berada dan disimpan digedong pusoko antara lain :
a. Kyai Srabat ; (Hilang tahun 1976)
b. Nyai Endel ; (Hilang tahun 1976)
c. Kyai Berjonggopati; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
d. Kyai Trisula ; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
e. Kyai Kembar
f. Dalam bentuk Wayang antara lain : Eyang Bondan, Eyang Bethik, Eyang Jokotruno, Kyai Panji, dan Nyai Dukun
g. Kamar 1 buah
h. Kotak Wayang Kayu 1 buah
i. Terbang
j. Almari tempat pusaka 2 buah
k. Tempat Plandean Tumbak
Pada bulan Suro diadakan jamasan pusaka Ki Ageng Ngaliman dan dikirap mengelilingi Desa Ngliman.
Air terjun yang ada di Ngliman sebenarnya banyak sekali antara lain : Sedudo, Segenting, Banyu Iber, Banyu Cagak, Banyu Selawe, Toyo Merto, Tirto Binayat, Banyu Pahit, Selanjar dan Singokromo.
Sedangkan yang mudah dan bisa dikunjungi adalah Sedudo dan Singokromo. Sedangkan yang lainnya seperti Banyu Cagak, Banyu Selawe, Banyu Iber hanya bisa dikunjungi dengan jalan setapak. Adapun air yang paling besar adalah Air terjun Banyu Cagak. Menurut pendapat dari Bapak Sarni (Jogoboyo Ngliman) bahwa untuk pengembangan Wisata perlu dibangun kolam renang di Ganter dan dibuatkan perkemahan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan
Makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan terletak di Desa Ngliman + 100 M ke arah timur dari Kantor Desa Ngliman.
Mbah Iro Karto maupun KH. Qolyubi berpendapat bahwa Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan adalah keturunan dari Gresik. Menurut sejarah telah disepakati bahwa setiap pengangkatan Sultan yang dinobatkan terutama dari keturunan Demak harus mendapat restu dari keturunan Giri Gresik. Hal ini disebabkan karena sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, oleh wali 9 yang diangkat menjadi Sultan adalah Kanjeng Sunan Giri. Setelah 100 hari setengah riwayatnya 40 hari, kesultanan dihadiahkan kepada Raden Patah.
Hal ini untuk menghindari citra bahwa Raden Patah merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri. Dengan demikian setiap pergantian Sultan Demak yang menobatkan adalah keturunan Kanjeng Sunan Giri. Setelah kasultanan Pajang runtuh, Sultan Hadiwijoyo pindah ke Mataram. Dengan kejadian ini terjadi silang pendapat didalam keluarga Giri. Diantara keluarga yang tidak setuju dan kalah suara menyingkir ke Ngliman dan menyebarkan agama Islam di Ngliman yang kemudian dimakamkan di Ngliman Gedong Wetan, Karena beliau lebih cenderung pada keturunan Demak Asli.
Kemudian kepergian beliau ditelusuri oleh orang Demak asli bernama Dewi Kalimah yang kemudian meninggal dan dimakamkan di Kebon Agung. Rentang waktu antara Ngaliman Gedong Wetan dengan Ngaliman Gedong Kulon terpaut waktu antara + 200 tahunan. Lebih tua Gedong Wetan. Setelah Ngaliman Gedong Wetan meninggal, keluarganya diboyong ke Kudus.
Demikian hasil penelusuran sumber sejarah mengenai riwayat Ki Ageng Ngaliman yang dihimpun dari berbagai nara sumber mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pengembangan obyek wisata religius. Dasar pemikiran yang sangat sederhana ini mudah-mudahan ada gayung bersambut dari pihak-pihak terkait guna pengkajian yang lebih mendalam.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Beliau yang dimakamkan di Ngaliman Gedong Kuolon berasal dari Solo Jawa Tengah dan masih keturunan Arab dan merupakan Senopati Perang Keraton Solo yang bernama Senopati Suroyudo. Perpindahan tersebut terjadi pada saat pergolakan Perang Gianti sekitar abad 17.
2. Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon adalah Kyai yang ahli dalam hal penggemblengan ilmu kanuragan. Ini bisa di buktikan bahwa di Desa Ngaliman tidak ada Pondok Pesantren namun yang ada tempat peninggalan untuk latih keprajuritan dan beberapa pusaka.
3. Beliau yang dimakamkan di Gedong Wetan berasal dari Gresik Jawa Timur sekitar abad 15 saat terjadi silang pendapat tentang penentuan orang yang menjabat sebagai raja di kerajaan Demak
Kirab Pusoko
Tempat atraksi wisata budaya berupa Kirab Pusoko dipusatkan di Gedung Pusoko Desa Ngliman Kecamatan Sawahan. Acara Kirab Pusoko digelar setiap bulan Maulud (dikaitkan dengan Bulan Kelahiran Nabi Muhamad, SAW), pada acara Kirab Pusoko ini selain acara yang sudah bersifat pakem, diisi pula pemeran produk unggulan penunjang dunia kepariwisataan. Dengan demikian nampak lebih semarak.
Kirab pusaka biasanya dimulai sekitar pukul 09.00 itu berawal dari Dukuhan Bruno berjalan berarak-arakan menuju Gedung Pusoko berjarak sekitar 2,5 km. Saat itu pula warga di masing-masing pedukuhan mengadakan selamatan, dengan suguhan jajanan pala kependem. Yaitu seperti ketela, ubi, garut, kacang tanah dan lain-lainnya.
Pusoko yang dikirab berjumlah enam buah, sebagian banyak berupa wayang kayu. Kecuali Kyai Kembar yang berbentuk Cundrik Lar Bangao. Keenam pusaka itu ialah Kyai Bondan, Kyai Djoko Truno, Kyai Bethik, Kyai Kembar, dan Eyang Dukun serta Eyang Pandji. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa pusaka-pusaka itu banyak membawa tuah diantaranya untuk keberhasilan dunia pertanian dan juga berkah kesehatan. Sebab, seperti dituturkan oleh Sang Juru Kunci Gedung Pusoko Ngalimin (65), konon ceritanya dulu kala ketika Desa Ngliman diserang wabah penyakit termasuk tanaman pertaniannya, Kyai Bondan dan Kyai Djoko Truno keliling desa dengan ditandai bunyi klintingan. “ Karenanya, di daerah Ngliman dan sekitarnya, walaupun bayi dilarang mengenakan klinting” tambah mBah Ngalimin.
Acara ini tidak ada kaitannya dengan agama., Bahkan, acara seperti itu bisa saling melengkapi kasanah budaya khususnya budaya jawa. Oleh karenanya, kedepan acara serupa bisa dikemas sebagai sebuah atraksi wisata budaya yang layak jual.
http://www.nganjukkab.go.id/

SEJARAH NGANJUK

SEJARAH PEMERINTAH NGANJUK


A.�� Nganjuk Pada Permulaan Tahun 1811

Sejarah Pemerintahan Kabupaten Pace sangat sulit diungkapkan karena kurangnya data yang dapat menjelaskan keberadaannya. Demikian pula halnya dengan mata rantai hubungan antara Kabupaten Pace dengan Kabupaten Berbek. Sehubungan dengan hal tersebut maka pembahasan tentang sejarah pemerintahan Kabupaten Nganjuk dimulai dari keberadaan Kabupaten Berbek.

Berdasarkan peta Jawa Tengah dan Jawa Timur pada permulaan tahun 1811 yang terdapat dalam buku tulisan Peter Carey yang berjudul : �Orang Jawa dan masyarakat Cina (1755-1825)�, Penerbit Pustaka Azet, Jakarta, 1986; diperoleh gambaran yang agak jelas tentang daerah Nganjuk. Apabila dicermati peta tersebut ternyata daerah Nganjuk terbagi dalam 4 (empat) daerah, yaitu : Berbek, Godean, Nganjuk dan Kertosono merupakan daerah yang dikuasai Belanda dan Kasultanan Yogyakarta, sedangkan daerah Nganjuk merupakan mancanegara Kasunanan Surakarta.

Timbul pertanyaan, apakah keempat daerah tersebut mempunyai status sebagai daerah Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati (Raden Tumenggung) atau berstatus lain? Dari silsilah keturunan Raja Negari Bima, silsilah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwung Kanjeng Sultan Hamengkubuwono I atau asal usul Raden Tumenggung Sosrodi-ningrat Bupati Nayoko Wedono Lebet Gedong Tengen Rajegwesi dapat diperoleh kesimpulan bahwa memang benar daerah-daerah tersebut pada waktu itu merupakan daerah kabupaten.

Adapun penguasa daerah Berbek dan Godean dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.�� Raja Bima mempunyai seorang putra, yaitu : Haji Datuk Sulaeman, yang kawin dengan putri Kyai Wiroyudo dan berputra 4 (empat) orang yaitu :

1.�������� Nyai Sontoyudo

2.�������� Nyai Honggoyudo

3.�������� Kyai Derpoyudo

4.�������� Nyai Damis Rembang.

2.�� Nyai Honggoyudo berputra :

1.�������� Raden Ayu Ronggo Sepuh

2.�������� Raden Ayu Tumenggung Sosronegoro

3.�������� Raden Ngabei Kertoprojo

4.�������� Mas Ajeng Kertowijoyo.

3.�� Raden Tumenggung Sosronegoro I, Bupati Grobogan, mempunyai putra sebanyak 30 (tiga puluh) orang, antara lain :

1.�������� Raden Tumenggung Sosrodiningrat I (putra I)

2.�������� Raden tumenggung Sosrokoesoemo I (putra VII)

3.�������� Raden Tumenggung Sosrodirdjo (putra XXIII).

4.�� Raden Tumenggung Sosrokoesoemo I adalah Bupati Berbek (sebelum pecah dengan Godean) berputra sebanyak 19 (sembilan belas) orang, antara lain :

1.�������� RMT Sosronegoro II (putra ke-2)

2.�������� RT Sosrokoesoemo II (putra ke-11)

Menurut pengamatan penulis, ketika RT Sosrokoesoemo I meninggal dunia, telah digantikan adiknya, yakni RT Sosrodirjo sebagai Bupati Berbek. Setelah itu Berbek dipecah menjadi dua daerah, yaitu Berbek dan Godean. RT Sosrodirdjo tetap memimpin daerah Berbek, sedangkan Godean dipimpin oleh keponakannya yaitu RMT Sosronegoro II (putra kedua dari RT Sosrokoesoemo I). Selanjutnya, menurut perkiraan, setelah kedua bupati tersebut surut/pensiun, Kabupaten Berbek dan Godean bergabung kembali menjadi satu, yaitu Kabupaten Berbek yang dipimpin oleh RT Sosrokoesoemo II (putra ke-11 dari RT Sosrokoesomo I).

Tentang Kabupaten Nganjuk dan Kertosono belum dapat diungkapkan lebih jauh, karena dalam perkembangan selanjutnya kedua daerah tersebut bergabung menjadi satu dengan daerah Berbek, yang diperkirakan terjadi sebelum tahun 1852. adapun Bupati Nganjuk sekitar tahun 1830 adalah RT. Brotodikoro, sedangkan Bupati Kertosono adalah RT. Soemodipoero.


B.�� Nganjuk Sekitar Tahun 1830

1.�� Perjanjian Sepreh

Pada tanggal 3 Juli 1830 atau tanggal 12 bulan Suro tahun 1758, telah diadakan suatu pertemuan di Pendopo Sepreh oleh Raad van Indie Mr. Pieter Markus, Ridder van de Orde van de Nederlandsche Leeuw, Commosaris ter Regelling de Vorstenlanden untuk mengatur daerah-daerah mancanegara Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta sebagai tindak lanjut dari persetujuan antara Nederlandsch Gouverment dengan Yang Mulia Susuhunan dari Surakarta dan Sultan dari Yogyakarta, bahwa semua daerah mancanegara mulai saat itu akan ditempatkan dibawah pengawasan dan kekuasaan Nederlandsch Gouverment.

Keesokan harinya, pertemuan tersebut telah menghasilkan �Perjanjian Sepreh tahun 1830� yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermeterai oleh 23 Bupati dari Residensi Kediri, Komisaris dan Residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad van Indie, Komisaris ynag mengurus daerah-daerah Kraton serta tuan-tuan Van Lawick van Pabst dan J.B. de Solis, Residen Rembang. Berdasarkan persetujuan tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.

Apabila dicermati, ternyata salah satu dari 23 Bupati yang telah ikut menandatangani perjanjian tersebut adalah Raden Tumenggung Brotodikoro, Regency van Ngandjoek. Mengapa demikian, dan bagaimana Bupati Berbek dan Bupati Kertosono? Mengenai hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

Bahwa yang mengikuti pertemuan di Pendopo Sepreh hanyalah bupati-bupati mancanegara dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Bupati Berbek dan Bupati Kertosono, sebagaimana diuraikan dimuka, adalah merupakan bupati dari daerah-daerah yang telah dikuasai dan mulai tunduk dibawah pemerintah Belanda jauh sebelumnya.

Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak adanya Perjanjian Sepreh 1830, atau tepatnya tanggal 4 Juli 1830, maka semua Kabupaten di Nganjuk (Berbek, Kertosono dan Nganjuk) tunduk dibawah kekuasaan dan pengawasan Nederlandsch Gouverment.

2.�� Nganjuk Setelah Perjanjian Sepreh

Pada tanggal 31 Agustus 1830, atau hampir dua bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintah Hindia Belanda mengadakan penataan-penataan/pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten yang telah berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Tentang penataan ini dapat dilihat dalam Surat Pemerintah Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan komisaris-komisaris yang mengurus/mengatur daerah-daerah keraton.

Dari hasil konperensi tersebut, kemudian keluar satu keputusan tentang rencana dari pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain menerangkan bahwa :

Pertama �� : Menentukan bahwa daerah mancanegara bagian timur akan terdiri dari dua residensi, yaitu Residensi Kediri dan Residensi Madiun.

Kedua ������ : Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten : Kedirie, Kertosano, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan Kalangbret. Dan selanjutnya dari Distrik-distrik Blitar, Trenggalek, kampak dan yang lebih ke timur sampai dengan batas-batas dari Malang, baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik juga akan diatur kemudian. 1)

Ketiga ������ : Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten : Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan Kalangbret. Dan selanjutnya dari Distrik-distrik Blitar, Trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timur sampai dengan batas-batas dari Malang; baik batas dari Kabupaten-Kabupaten maupun distrik-distrik juga akan diatur kemudian. 1)

1)�� baca Skep, Y1, LA. No.1.Semarang 31 Agustus 1830

Sebagai realisasinya, pada kurun waktu empat bulan kemudian ditetapkan Resolusi No. 10 tanggal 31 Desember 1830, yang berisikan tentang pelaksanaan dari Skep tanggal 31 Agustus 1830 tersebut diatas.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam isi Resolusi tersebut, khususnya pada bagian keempat, yang antara lain berbunyi sebagai berikut : 2)

2)�� baca Resolusi tanggal 31 Desember 1830 No 10

Keempat ������� :���������� Juga sangat disayangkan, dari Skep, tanggal 31 Agustus Y1.La.No 1 terpaksa disetujui (diperkuat) dari Residensi dalam kabupaten-kabupaten :

a.�� Residensi Madiun dalam kabupaten-kabupaten :

Madiun

Maos-Patti

Poerwo-dadie

Toenggoel

Gorang-gareng

Djogorogo

Tjaroeban�..

b.�� Residensi Kedirie dalam kabupaten-kabupaten :

Kedirie

Ngandjoek

Berbek

Kertosono��

Dari hasil pengamatan kedua dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa setelah penyerahan pengawasan dan kekuasaan atas daerah-daerah mancanegara oleh Susuhunan dari Surakarta dan Sultan dari Yogyakarta kepada Pemerintahan Hindia Belanda, maka Pemerintahan yaitu : Kabupaten Ngandjuk, Kabupaten Berbek dan Kabupaten Kertosono.

Tentang para pejabat Bupati dari ketiga kabupaten tersebut, ditetapkan dengan akte komisaris Daerah-daerah yang telah diambil alih, yang ditandatangani di Semarang 16 Juni 1831, oleh Van Lawick van Pabst, dengan tiga personalia Bupati sebagai berikut : 3)


-���� Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo sebagai Bupati Berbek

-���� Raden Toemenggoeng Brotodikoro sebagai Bupati Nganjuk dan

-���� Raden Toemenggoeng Soemodipoero sebgaai Bupati Kertosomo

Penetapan pejabat-pejabat Bupati tersebut bersamaan dengan penetapan pejabat Bupati yang lain dalam Residensi Kedirie; Bupati Kedirie Radeen Mas Toemenggoeng Ario Djojoningrat; Bupati Ngrowo - Radeen Dipatti Djajengningrat; Bupati Kalangbret - Radeen Toemenggoeng Mangoondikoro; dan Bupati Kalangbret - Radeen Toemenggoeng Mangoondikoro; dan Bupati Srengat Ngabey Mertokoesoemo.


3). Baca Akte Daerah-daerah Kraton yang telah diambil oleh Residensi Kedirie, yang ditandatangani di Semarang oleh van Lawick van Pabst. Dalam Akte Kolektif ini juga ditetapkan personalia pejabat-pejabat Kabupaten yang lain, seperti Patih, Mantrie, Jaksa, Mantri Wedono/Kepala Distrik, Mantri Res dan Penghjoeloe.


C.� Berbek, Cikal Kabupaten Nganjuk


1.�� Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo I :

Dalam uraian berikut ini lebih banyak menjelaskan tentang perjalanan sejarah keberadaaan Kabupaten Berbek sebagai �cikal bakal� Kabupaten Nganjuk sekarang ini. Dikatakan �cikal bakal� karena kemudian bahwa alur sejarah Kabupaten Nganjuk adalah berangkat dari keberadaan Kabupaten Berbek dibawah kepemimpinan Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo I.

Kapan tepatnya daerah Berbek mulai menjadi suatu daerah yang berstatus Kabupaten, kiranya masih sulit diungkapkan . Namun dari silsilah keluarga dan catatan : �Peninggalan Kepurbakalaan Kabupaten Nganjuk� tulisan Drs. Subandi, dapat diketahui bahwa Bupati Berbek yang pertama adalah KRT. Sosrokoesoemo I (terkenal dengan sebutan Kanjeng Jimat.

Pada masa pemerintahannya dapat diselesaikan sebuah bangunan masjid yang bercorak Hinduistis yang bernama Masjid Yoni Al Mubarook, terdapat sinengkalan huruf Arab berbahasa Jawa yang berbunyi :

-���� Bagian depan : Ratu Pandito Tata Terus (1759)

-���� Bagian bawah ����������� : Ratu Nitih Buto Murti (1758)

-���� Bagian kanan/kiri ������� : Rtau Pandito Tata Terus (1759)

-���� Bagian belakang ������� : Ratu Pandito Tata Terus (1759)


2.�� Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo

Setelah KRT. Sosrokoesoemo meninggal dunia tahun 1760 (Leno Saroso Pandito Iku), sebagai penggantinya adalah kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirjo. Mendekati tahun 1811, Kabupaten Berbek pecah menajdi 2 (dua), yaitu Kabupaten Berbek dan Kabupaten Godean. Sebagai Bupati Godean adalah Raden Mas Toemenggoeng Sosronegoro II.


3.�� Kanjeng Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo II :

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai tindak lanjut adanya Perjanjian Sepreh tahun 1830, yaitu adanya rencana penataan kembali daerah-daerah dibawah pengawasan dan kekuasaan Nederlandsch Gounerment, dengan SK 31 Agustus 1830, ditetapkan bahwa Kabupaten Godean dinyatakan dicabut dan selanjutnya digabungkan dengan Kabupaten Berbek (yang terdekat). Dengan akte komisaris daerah-daerah Kraton yang telah diambil alih dan ditandatangani oleh Van Lewick van Pabst tanggal 16 Juni 1831 di Semarang, ditunjuk sebagai Bupati Berbek adalah Kanjeng Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo II. Dari akte tersebut dapat diketahui bahwa Godean telah berubah statusnya menjadi Distrik Godean, yang bersama-sama dengan Distrik Siwalan dan Distrik Berbek menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Berbek.


4.�� Raden Ngabehi Pringgodikdo :

KRT Sosrokoesoemo II (1830-1852) meninggal dunia tanggal 27 Agustus 1852 karena menderita sakit paru-paru. Yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah Raden Ngabehi Pringgodikdo, Patih Luar dari Kabupaten Ngrowo, yang bukan termasuk garis keturunan/keluarga dari KRT. Sosrokoesoemo II. Pilihan jatuh pada Pringgodikdo ini karena putra-putra dari KRT Sosrokoesoemo II (Bupati yang telah meninggal) dianggap kurang mampu untuk, menduduki jabatan Bupati tersebut.

Sedangkan Pringgodikdo dinilai lebih cakap dan berbudi pekerti yang baik, selain itu mempunyai pengalaman yang cukup daripada calon-calon lain yang diusulkan, sehingga dianggap mampu dan pantas untuk menggantikan KRT. Sosrokoesoemo II almarhum.

Pengangkatan Pringgodikdo sebagai Bupati ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Nederlandsch India di Batavia, tanggal 25 Nivember 1852. Selanjutnya, apabila disimak dari isi surat residen Kedirie yang pertama, tanggal 20 September 1852 tentang Pertimbangan-pertimbangan terhadap Pringgodikdo untuk diangkat menjadi Bupati Berbek adalah sebagai berikut :

�Kabupaten Berbek penting sekali, juga sangat luas, yang meliputi delapan Distrik di wilayahnya, dan berbatasan dengan Residen Madiun, Soerabaja, rembang, sehingga policie di sana seharusnya waspada��..�

Menurut �Akte Komisaris Daerah-daerah Kabupaten Berbek terdapat 3 (tiga) distrik, Kabupaten Nganjuk ada 2 (dua) distrik dan Kabupaten Kertosono ada 3 (tiga) distrik, sehingga jumlah keseluruhan ada 8 (delapan) distrik, sama dengan yang disebutkan dalam SK diatas. Hal ini berarti sebelum KRT Sosrokoesoemo II meninggal, telah terjadi suatu proses penghapusan Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kertosono yang selanjutnya wilayahnya digabungkan pada Kabupaten Berbek Bersatu yang meliputi distrik-distrik : Berbek, Godean, Siwalan (asli dari Kabupaten Berbek), Ngandjoek, Gemenggeng (berasal dari Kabupaten Ngandjoek), Kertosono, Waroe Djajeng, Lengkong (berasal dari Kabupaten Kertosono).


5.�� Raden Ngabehi Soemowilojo

Raden Ngabehi Pringgodikdo menjabat sebagai Bupati Berbek lebih kurang 14 tahun, yaitu sampai dengan tahun 1866. Setelah mangkat digantikan oleh Raden Ngabehi Soemowilojo, Patih pada Kadipaten Blitar dengan SK Gubernur Jendral Nederlandsch Indie tanggal 3 Sepetember 1866 No.10. Selanjutnya dengan SK Gubernur Jenderal Nederlandsch Indie tanggal 21 Oktober 1866 No. 102 dia diberi gelar Toemenggoeng dan diijinkan menamakan diri : Raden Toemenggoeng Soemowilojo.


6.�� Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo III :

Raden Toemenggoeng Soemowilojo meninggal dunia tanggal 22 Februari 1878. Untuk menduduki jabatan Bupati Berbek yang kosong tersebut telah diangkat Raden Mas Sosrokoesoemo III, Wedono dari Toeloeng Agoeng. Dia diangkat dengan SK Gubernur Jenderal Nederlandsch Indie tanggal 10 April 1878 No. 9, menjadi Bupati Berbek. Bersamaan dengan itu diberikan titel jabatan : Toemenggoeng dan diijinkan menuliskan namanya Raden Toemenggoeng Sosrokoesomo. Pada masa pemerintahan Raden Toemenggoeng Sosrokoesomo III inilah terjadi suatu peristiwa yang amat penting bagi perjalanan sejarah pemerintahan di Nganjuk hingga sekarang ini. Peristiwa tersebut adalah adanya kepindahan tempat Pusat Pemerintahan dari kota Berbek menuju kota Nganjuk. Mengenai hal boyongan ini akan diuraikan nanti.


7.�� Raden Mas Toemenggoeng Sosro Hadikoesoemo :

Pada tanggal 28 September 1900, RM. Adipati Sosrokoesoemo III karena menderita sakit yang terus menerus sehingga terpaksa memberanikan diri mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Nederlandsch Indie untuk diberhentikan dengan hormat dari jabatan Negara dengan diberikan hak pensiun. Dan selanjutnya memohon agar kiranya putra laki-laki tertuanya : Raden Mas Sosro Hadikoesoemo menggantikan jabatan sebagai Regent (Bupati) Berbek.

Berdasarkan Besluit Gubernur Jendral Nedelrandsch Indie tanggal 2 Maret 1901 No. 10, pemeirntah Hindia Belanda memberhentikan R.M. Adipati Sosrokoesoemo dan selanjutnya mengangkat Raden Mas Sosro Hadikoesoemo dan mengijinkan menamakan dan menuliskan : Raden Mas Toemenggoeng Sosro Hadi Koesoemo.

Satu hal penting yang perlu diperhatikan pada masa jabatan RMT. Sosro Hadi Koesoemo ini adalah mulai digunakan sebutan : Regenrschap (Kabupaten) Nganjuk, yang pada waktu-waktu sebelumnya masih disebut Afdelling Berbek (Kabupaten Berbek). Tentang hal ini dapat dilihat pada Regeering Almanak 1852-1942.

Berikut ini adalah nama-nama Bupati Nganjuk setelah Raden Mas Sosro Hadi Koesoemo :

1936-1942 : R.T.A. Prawiro Widjojo

1943-1947 : R. Mochtar Praboe Mangkoenegoro

1947-1949 : Mr.R. Iskandar Gondowardojo

1949-1951 : R.M. Djojokoesoemo

1951-1955 : K.I. Soeroso Atmohadirejo

1955-1958 : M. Abdoel Sjukur Djojodiprodjo

1958-1960 : M. Poegoeh Tjokrosoemarto

1960-1968 : Soendoro Hardjoamodjojo, SH

1968-1973 : Soeprapto, BA

1973-1978 : Soeprapto, BA

7978-1983 : Drs. Soemari

1983-1988 : Drs. Ibnu Salam

1988-1993 : Drs. Ibnu Salam

1993-1998 : Drs. Soetrisno R

1998-2003 : Drs. Soetrisno R, M.Si

2003-sekarang : Ir. Siti Nurhayati, MM


D.� Boyongan Pusat Pemerintahan

1.�� Alasan dan Waktu Boyongan

Mengapa harus pindah? Pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie�s Grovenhoge; Mertimes nijhoff, 1919, halaman 274-274, terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa ibukota Berbek adalah wilayah yang terisolasi. Karena itu tentunya sulit untuk berkembang. Kebetulan pada waktu itu sedang dilaksanakan pembangunan jalur kereta api jurusan Surabaya-Solo, sehingga ibukota Kabupaten Berbek perlu pindah ke Ngandjoek yang dekat dengan jalur kereta api, strategis dan lebih berhubungan dan berkomunikasi dengan dunia luar.

Dalam Encyclopaedie tersebut hanya disebut waktu kepindahan angka tahun 1883, namun angka ini agak disangsikan. Dalam foto dokumentasi �Peringatan 50 Tahun Berdirinya Kota Ngandjoek yang diadakan di Onderdistrict Prambon�, ditemukan angka 1880-1930. Hal ini berarti :

����� 1.�� Peringatan HUT Kabupaten Ngandjoek yang ke-50 diadakan pada tahun 1930.

����� 2.�� Peringatan dilaksanakan pada saat RMAA. Sosrohadikoesoemo (Gusti Djito) masih menjabat sebagai Regenty (Bupati) Ngandjoek.

����� 3.�� Tahun 1880 adalah tahun suatu kejadian yang diperingati yaitu mulainya kedudukan ibukota Kabupaten Berbek pindah ke Ngandjoek.

����� 4.�� Pada tahun 1880 yang menjabat sebagai Bupati (Regen) Berbek adalah KRMT. Sosrokoesoemo III.

����� 5.�� KRMT. Sosrokoesoemo III adalah Bupati di Berbek yang terakhir dan sebagai Bupati yang pertama di kota Nganjuk.

Dari dua sumber dokumentasi tersebut, penulis memberanikan diri mengajukan hipotesa sebagai berikut :

����� a.�� Tahun 1880 merupakan tahun boyongan dari Berbek masuk Rumah Dinas Bupati di ngandjoek.

����� b.�� Oleh karena kepindahan tersebut tidak hanya boyongan tempat tinggal bagi pejabat Bupati saja, tetapi diikuti dengan kepindahan seluruh perangkat pemerintahan pada waktu itu, tentunya melalui proses yang cukup lama, dan rupanya baru berakhir pada tahun 1883.


Berdasarkan asumsi sementara, ternyata masih ada teka-teki yang belum dapat terkuak sampai saat ini, yaitu kapan waktu yang sebenarnya bagi proses boyongan tersebut. Untuk asumsi yang pertama (item a) ada sedikit petunjuk sebagai berikut :

1.�� Ibnu R. Ayu Moestadjab (ahli waris KRMAA Sosrohadikoesoemo, jatuh cucu), dalam suratnya kepada Adi Soesanto, Kasubag Humas Pemerintak Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk, pada tanggal 2 Maret 1987, menjelaskan bahwa HUT Kabupaten Nganjuk pada tahun 1930 jatuh pada hari Kemis Legi bulan Agustus.

2.�� Hari Kemis Legi bulan Agustus 1930, setelah dicari melalui patokan dalam �Melacak Hari Lahir Pasaran�, ternyata jatuh pada tanggal 21 Agustus 1930.

Apabila penjelasan dari ibu R.Ayu Mustadjab tersebut benar, maka boyongan dari Berbek masuk Rumah Dinas Bupati Ngandjoek terjadi pada tanggal 21 Agustus 1880 atau jatuh pada Sabtu Kliwon.

Pertanyaan berikutnya adalah mengenai rute mana yang dipergunakan dalam melakukan proses boyongan tersebut. Satu hal yang perlu diingat, bahwa pola pikir jaman leluhur dulu senantiasa memperhatikan hitungan atau patokan dalam ajaran Kejawen.


2.�� Nganjuk Sebagai Ibukota

Dikemukakan bahwa pada tahun 1880 Bupati Berbek telah bertempat tinggal di Nganjuk, sedangkan perangkat pemerintahan lainnya diperkirakan pada tahun 1883 sudah selesai menyusul pindah ke kota Nganjuk. Berdasarkan kenyataan ini, apakah mungkin terdapat suatu ketetapan resmi yang menyatakan kota Nganjuk sebagai ibukota Kabupaten? Dalam Statsblad van Nederlandsch Indie No. 107, dikeluarkan tanggal 4 Juni 1885, memuat SK Gubernur Jendral dari Nederlandsch Indie tanggal 30 Mei 1885 No 4/C tentang batas-batas ibukota Toeloeng Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek dan Kertosono, antara lain disebutkan:

.III tot hoafdplaats Ngandjoek, afdeling Berbek, de navolgende Wijken en kampongs :

a.�� de Chineeshe Wijk

b.�� de Kampong Mangoendikaran

c.�� de Kampong Pajaman

d.�� de Kampong Kaoeman

Dengan ditetapkannya kota Nganjuk yang meliputi kampung dan desa tersebut diatas menjadi ibukota Kabupaten Nganjuk, maka secara resmi pusat pemerintahan Kabupaten Berbek berkedudukan di Nganjuk.


HARI JADI NGANJUK

Nampaknya tidaklah salah bahwa sebuah kota memerlukan memiliki sebuah Hari Jadi. Tanpa Hari Jadi, seolah-olah sebuah kota menjadi anak haram yang ahistoris. Hari Jadi dipentingkan sebagai penanda, suatu monumen sejarah, yang dapat diperingati setiap tahun oleh warga kota. Dan itu berarti, harusdilakukan penelusuran jauh ke belakang untuk menemukan asal usul keberadaan suatu daerah, yang dapat dimulai dari menelisik berbagai macam peninggalan bersejarah. Dan berbeda dengan Hari Jadi seorang anak manusia (yang jelas kedua orang tuanya), maka mendapatkan kepastian mengenai Hari Jadi sebuah kota lebih ditentukan oleh asumsi manusia atas dasar dokumen-dokumen sejarah yang mendukungnya. Meskipun, kadang-kadang keputusan tersebut cenderung subyektif lantaran ingin mendapakan fakta sejarah yang heroik, sehingga dapat dibanggakan sepanjang masa.


DASAR PENENTUAN

Meneliti sejarah daerah, apalagi jika dikaitkan dengan masa pertumbuhan dan perkembangannya, diperlukan pendekatan histories, dengan menempatkan daerah itu dalam konteks ruang dan waktu. Hal itu berarti bahwa sejarah Kabupaten Nganjukdewasa ini, hendaklah dipahami sebagai proses yang berkesinambungan dalam setting dimensi ruang dan waktu dari suatu daerah, mulai dari suatu saat sepanjang diketahui dari sumber tertulis yang kronologis. Selama rentang waktu itulah dapat dilacak perubahan demi perubahan, baik yang menyangkut nama, kedudukan (status) peranan yang dimainkan dalam pemerintahan, aktivitas ekonomi maupun kebudayaan.

Sepanjang yang dapat diketahui dari sumber sejarah di wilayah yang kemudian hari menjadi Kabupaten Nganjuk, menunjukkan bahwa kawasan lembah timur Gunung Wilis ini memiliki kaitan sejarah dengan pemerintahan dan kebudayaa Kasunanan Surakarta sebelum abad XIX (Peter Carey, 1986). Adalah sebutan yang telah berubah ucapannya dari Watek yang sudah ada sejak abad X, yang bernama Anjuk Ladang (Brandes, 1913:84-89); L.C.Damais, 1952 : 60-1).

Pada masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1824) wilayah Nganjuk masih berkedudukan sebagai daerah Mancanegara bagian timur berada di bawah penilikan Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta. Sementara itu daerah Berbek, Godean, Kertosono, telah dikuasai Belanda. (Peter Carey, 1986 : lampiran peta). Hal itu bertepatan dengan berakhirnya perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1930, Bupati Nganjuk Brotodikoro melepaskan diri dari ikatan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dan ikut menandatangani pernyataan pengakuan kekuasaan terhadap pemerintah Belanda di Pendopo Sepreh, bersama-sama dengan 22 Bupati dari daerah Madiun, Kediri dan Blitar. (Pieter Merkus, 1983 : Lewick van Pabst, 1830).

Pada perempatan akhir abad XIX, dibangun jalan kereta api (spoor staat) antara Surabya-Solo, dan kota Nganjuk sebagai distrik ditingkatkan kedudukannya menjadi ibukota Kabupaten Nganjuk pada tahun 1883. Sementara itu Berbek sebagai ibukota Kabupaten yang lama dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan transportasi modern. Pemindahan ibukota itu dikukuhkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 30 Mei 1885. Sejak itu kota Nganjuk menjaid ibukota pemerintahan kabupaten hingga sekarang.

Dalam rentang waktu lebih dari satu abad itu, berbagai peristiwa telah terjadi dan dialami silih berganti dari generasi satu ke generasi berikutnya. Penduduk Kabupaten Nganjuk ikut bergerak bersama pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pemerintahan pendudukan tentara Jepang, dan memasuki gerbang kemerdekaan hingga masa pembangunan pada era pemerintahan berikutnya.

Ibarat menempuh suatu perjalanan jauh, suatu masyarakat didaerah ini istirahat sejenak sambil berpaling kemasa lampau, untuk menyusuri tapak sejarah, menemukan titik pangkal sebagai awal perjalanan sejarah Kabupaten Nganjuk ini. Kegalauan karena belum tercapai kesepakatan mengenai Hari Jadi Nganjuk, menunjukkan pertanda adanya kesadaran sejarah, sebagai suatu kebutuhan rohaniah yang berfungsi inspiratif serta menumbuhkan rasa kebangsaan.

Dari berbagai data sejarah yang ada, diperlukan alas an-alasan kuat untuk menentukan Hari Jadi Nganjuk, sehingga dapat mengungkapkan jati diri serta menjadi ilham dalam membangun daerah ini, dan sekaligus dapat menjadi kebanggaan masyarakat di kemudian hari. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dijadikan dasar penentuan Hari Jadi tersebut, yaitu :

Pertama, adanya bukti tertulis paling tua yang menunjukkan hubungan histories arkeologis dengan toponimi Nganjuk didaerah dalam perkembangan sejarahnya secara kontinyu menjadi Kabupaten Nganjuk. Sumber tertulis itu merupakan sumber utama (primer) dan sejman, asli, gayut dan kredibel.

Kedua, sumber tertulis berupa prasasti tertua yang menyebutkan sejumlah toponimi (nama tempat) yang dapat dilacak kembali didaerah yang dikemudian hari berkembang menjadi wilayah administrative Kabupaten Nganjuk. Dalam kategori ini termasuk prasasti atau sumber tertulis lain walaupun tidak memuat data yang berkaitan langsung dengan topinimi Nganjuk, namun terdapat didaerah Kabupaten Nganjuk sekarang.

Ketiga, sumber tertulis dan lisan yang berisi ingatan kolektif penduduk Kabupaten Nganjuk, yang secara turun temurun dilestarian dalam bentuk mitos, legenda danscerita rakyat (folklor) sepanjang mengenai asal-usul nama daerah, seorang tokok cikal bakal dalam pemerintahan, kemasyarakatan serta kebudayaan yang dapat dibandingkan kebenarannya dengan sumber lain.

Keempat, bukti yang berupa bangunan, monumen, patung atau artefak lain yang dijumpai di daerah Nganjuk yang secara kontinyu dapat dilacak sejarahnya dari masa lalu yang tertua.

Kelima, sumber berupa dokumen tertua sepanjang menyangkut sejarah asal-usul pemerintahan daerah Kabupaten Nganjuk, yang mengandung nilai sejarah desa, peristiwa kepahlawanan, serta hal-hal yang dapat menumbuhkan kebanggaan masyarakat.

Dasar penetapan Hari Jadi sebuah kota atau pemerintahan sebagai institusi, hendaklah memuat momentum yang mengandung nilai inspiratif, edukatif, serta memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya. Disamping itu diharapkan dapat memberikan sumbangan (kontribusi) bagi terjadinya proses intregitas masyarakat (persatuan dan kesatuan), peningkatan wawasan kesejahteraan demi masa kini dan masa depan (future oriented).

Atas dasar pemikiran diatas, dalam buku ini akan dibahas berbagai sumber epigrafis dan arkeologis di wilayah yang dalam perkembangan sejarahnya menjadi Kabupaten Nganjuk. Perhatian utama dipusatkan pada kajian sumber-sumber tertulis paling tua yang dapat memberi keterangan awal pertumbuhan pemerintahan dan kebudayaan dalam arti luas. Dari kajian sumber histories-arkeologis itu, dapat disepakati Hari Jadi Nganjuk, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


KAJIAN PUSTAKA

Publikasi tertua tentang pemerintahan wilayah Nganjuk dan sekitarnya, berasal dari sejumlah laporan resmi pegawai VOC yang berkaitan dengan daerah Mancanegara bagian timur, baik dari kerajaan Mataram abad XVII, maupun Kesultanan Yogyakarta dari abad XVIII (B.J.O.Schrieke, 1955 ; II; H.J.de Graaf, 1958). Daerah Kertosono sebagai wilayah Mancanegara Kesultanan Jogyakarta bagian timur antara tahun 1808-1825, merupakan salah satu gerbang tol yang penting bagi perdagangan candu serta sejumlah pajak tetap lainnya (Peter Carey, 1984).

Dari peta yang berasal sekitar tahun 1811, Nganjuk masih merupakan daerah mancanegara Surakarta, sedangkan Berbek, Godean dan Kertosono telah dikuasai pemerintah Belanda. Demikian pula tulisan-tulisan berupa rahasia dari para Residen atau Asisten Residen, sejak tahun 1830, telah banyak memberi keterangan penting tentang pemerintahan daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Nganjuk (Kolonial Archief; 1830; 1866; 1878; 1883).

Penerbitan khusus tentang sumber epigrafi yang memuat antara lain prasasti yang terdapat di daerah Kabupaten Nganjuk sekarang terdapat dalam kumpulan prasasti yang memuat trankripsi itu, ternyata banyak kesalahan pembacaan angka tahun serta unsure kalendriknya sehingga perlu diedit ulang. Koreksi terhadap karya Brandes antara lain dilakukan oleh L.C.Damais (Damais, 1950;c1952; 1955) ditemukan di daerah Nganjuk (berbek).

Sebuah artikel penting yang sedikit menyinggung sejarah Nganjuk dari abad X, disampaikan de Casparis dalam pidato inagurasinya di Malang tahun 1958. (J.G.de Casparis, 1958). Pendapatnya tentang prasasti di desa Candirejo banyak dikutip untuk menjelaskan peranan penting Maharaja Pu Sindok yang berkaitan dengan sejarah paling tua dari daerah Nganjuk.


SUMBER EPIGRAFIS, IKONOGRAFIS DAN ARTEFAKTUAL

Sejauh yang dapat diketahui, ada sejumlah keterangan tertulis yang dapat dipergunakan sebagai sumber untuk mengetahui sejarah daerah ini pada saat yang paling awal. Sumber tertua itu berupa prasasti dari masa pemerintahan Raja Sindok, yang mulai naik tahta pada tahun 929-948 Masehi. Pusat pemerintahannya terletak di Watugaluh, yang diduga terletak antara Gunung Wilis dengan Gunung Semeru. Dari sekita 20 prasastinya itu, tersebut di daerah yang membentang dari Kabupaten Malang di sebelah timur, hingga Kabupaten Nganjuk di sebelah barat, dari daerah Kabupaten Jombang membentang dari utara ke selatan sampai Kecamatan Turen Kabupaten Malang. Hingga kini ada tiga buah prasasti batu yang pernah ditemukan didaerah Nganjuk dan Kertosono. Secara kronologis prasasti itu adalah :

1.�� Prasasti Kinawe

Prasasti Tanjung Kalang dari daerah Berbek ini, untuk pertama kalinya dilaporkan oleh Hoepermans dalam Hindoeoudheiden van Java (1864-1867). Selanjutnya dicatat dalam Notulen tahun 1889 dan dibahas oleh Roffaer, dan diberi kode D.66) Rouffaer, 1909). Prasasti yang terdiri dari 13 baris itu, berasal dari tahun saka 849, dikeluarkan oleh seorang Pejabat tinggi Rake Gunungan Dyah Muatan, bersama ibunya yang bernama Dyah Bingah. Di dalamnya juga menyebut nama Raja Wawa, serta nama pejabat tinggi rakriyan Mapatih Mpu Sindok Isana Wikrama. (Brandes, 1913:49). Berdasarkan nama desa yang disebut dalam prasasti, piagam yang dikeluarkan bertepatan dengan tahun Masehi 28 Nopember 928 ini, disebut prasasti Kinawe (Damais, 1952 : 55; 1955 : 53-54).

Prasasti ini meresmikan desa (wanua) Kinawe watek Kadangan, dengan hak Sima sebagai desa yang dibebaskan dari pembayaran kepada raja. Berdasarkan unsure penanggalannya, prasasti ini dikeluarkan bertepatan dengan hari pekan Sadwara, Warukung (hari ketiga), Wagai hari Pancawara, Wrhaspati hari ke 5 Saptawara. Dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kinawe dari desa Tanjungkalang ini dikeluarkan pada hari Kamis Wage tahun 928 Masehi atau secara lengkap bertepatan dengan hari : Kamis Wage bulan November 928.


2.�� Prasati Hering

Prasasti dari desa Kujon Manis, Warujayeng ini ditemukan dan dilaporkan pertama kali pada tahun 1869. Menurut pembacaan Brandes prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Sindok pada tahun Saka 859 (Brandes, 1886 : 146; 1913 : 89-94). Sesuai dengan nama desa yang disebut didalamnya, yait Hering watek (desa besar) Marganung, oleh karena itu prasasti ini juga disebut Prasasti Hering.

Berdasarkan unsur penanggalannya, Damais berpendapat prasasti itu dikeluarkan pada tahun Saka 856, yang bertepatan dengan tanggal 22 Mei 934 Masehi atau pada hari Kamis Wage, 22 Mei 934 (Damais, 1952 : 60-61; 1955 : 182). Di dalam prasasti ini Pu Sendok disebut dengan gelar : Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa. Gelar itu hanya menyebutkan Sri Maharaja, tanpa tambahan gelar jabatan Rakai Hino, Halu, Srimahamantri dalam prasastinya yang lebih tua maupun dari masa kemudian (Damais: 1952: 56-63).

Maklumat dalam prasasti ini cukup panjang, terdiri atas 35 baris di bagian muka, di bagian belakang mulai dari baris 11 hingga baris 38, bagian samping kiri 45 baris, dan samping kanan 47 baris. Isinya antara lain tentang jual beli tanah sawah. Juga menyebutkan para saksi yang terdiri dari pejabat kerajaan hingga pejabat tingkat desa.


3.�� Prasasti Anjuk Ladang

Prasasti Anjuk Ladang berbentuk batu (Linggo Pala), sebenarnya bernama Prasasti Candi Lor. Diberi nama demikian karena prasasti tersebut diketemukan di sebuah situs bernama Candi Lor, terletak di desa Candirejo, kurang lebih empat kilometer di sebelah selatan kota Nganjuk, tetapi disebelah barat jalan raya yang menghubungkan Nganjuk-Kediri. Nama Prasasti Anjuk Ladang dipakai karena dalam prasasti itu disebut toponimi (nama tempat) Anjuk Ladang yang dianggap sebagai asal-usul nama Nganjuk sekarang.

Laporan pertama tentang reruntuhan Candi Lor yang oleh masyarakat setempat disebut dengan nama Candi Batu (karena terbuat dari bahan batu bata) dilakukan pada masa kekuasaan Letnan Gubernur Thomas Stanford raffles (berkuasa pada tahun 1811-1816 M). Untuk kepentingan penyelamatan dan penelitian prasasti Anjuk Ladang ini kemudian dipindahkan tempatnya ke halaman kediaman Residen Kediri. Karena dianggap mempunyai nilai yang sangat penting akhirnya prasasti ini diangkat dan disimpan di Museum Pusat Jakarta, sebagai koleksi benda purbakala dan diberi kode D.59. Guritan aksara yang dipergunakan pada Prasasti Anjuk Ladang adalah abjad Jawa kuno dan mempergunakan bahasa Jawa kuno pula. Karena selama ditempat aslinya kurang terpelihara, maka sebagian tulisan angka tahun prasasti ABKLATSCH yang dibuat untuk memudahkan pembacaan prasasti juga kurang memberika hasil yang memuaskan.

Transkripsi (alih abjad) Prasasti Anjuk Ladang dibuat oleh J.L.A. Brandes tahun 1887 (?) dan dimuat dalam buku Oud Javansche Oorkonden (kumpulan prasasti berbahasa Jawa Kuno) yang diterbitkan oleh N.J.Krom pada tahun 1913. Sedangkan transliterasi (alih bahasa, terjemahan) secara lengkap sampai sekarang belum pernah dilakukan. Para ahli yang meneliti Prasasti Anjuk Ladang pada umumnya hanya membahas bagian-bagian tertentu, atau membicarakan garis besar isinya saja. Prasasti ini memuat tulisan pda bagian depan (Recto) sebanyak 49 baris dan bagian belakang (Verso) sebanyak 14 baris. Walaupun keadaan (tulisan) Prasasti Anjuk Ladang sebagian rusak, tetapi dengan membandingkan prasasti tersebut dengan prasasti-prasasti Sri Maharaja Pu Sindok yang lain (jumlahnya kurang lebih 30 buah), Prasasti Anjuk Ladang dapat direkonstruksi dan sebagian besar isinya dapat diketahui.

Skema struktur Prasasti Anjuk Ladang secara garis besar adalah sebagai berikut:

����� 1.�� Kalendris, unsure penanggalan.

����� 2.�� Rja yang memerintahkan pembuatan prasasti yaitu Sri Maharaja Pu Sindok Isana Wikrama Dharmmotunggadewa.

����� 3.�� Birokrasi, system dan struktur pejabat pemerintahan terutama pejabat yang dilibatkan dalam pembuatan prasasti, mulai dari pejabat tinggi atau pejabat Pemerintah Pusat, pejabat menengah sampai pejabat tingkat rendah yaitu pejabat desa.

����� 4.�� Sambandha, alas an (latar belakang) pembuatan prasasti.

����� 5.�� Mangilala dwryhaji.

Yaitu pejabat-pejabat pemungut (penarik) pajak yang sejak dikeluarkannya prasasti tidak lagi diperkenankan memasuki desa yang telah dijadikan desa suci (sacral) atau desa otonom (perdikan) bebas pajak dan disebut Sima Swatantra. Para pemungut pajak tersebut jumlahnya cukup banyak, dalam Prasasti Anjuk Ladang disebutkan lebih dari 60 (enam puluh) pejabat, diantaranya yang terkenal adalah : Pangkur, Tawan, Tirip.


4.�� Pasak-pasak

Yaitu hadiah atau persembahan yang disampaikan oleh sekelompok orang yang memperoleh anugrah dari Sang Maharaja (dalam hubungannya dengan pemberian perdikan atau status otonom, bebas pajak desa Anjuk Ladang) kepada pejabat-pejabat pemerintahan yang hadir dalam upacara. Dalam Prasasti Anjuk Ladang, jumlah pejabat penerima pasak ada 43 orang. Pasak-pasak itu berujud emas dalam berbagai ukuran/satuan dan pakaian. Besar kecilnya pasak-pasak disesuaikan dengan tinggi rendahnya pejabat yang menerima.


5.�� Upacara Ritual

Yaitu upacara penetapan Anjuk Ladang sebagai Desa Perdikan Sima Swatantra yang dilakukan dengan melaksanakan seperangkat upacara suci (ritual). Upacara ini melibatkan sejumlah petugas, alat-alat, dan barang-barang sesaji. Upacara tersebut disebut Manasuk Sima. Benda-benda sesaji dan alat-alat yang dipergunakan antara lain: Telur, ayam, kepala kerbau, alat-alat dapur, kalumpung dan lain-lain. Sedangkan petugas upacara disebut Madukur.


6.�� Sapatha atau Kutukan

Sebagai upacara penutup adalah kutukan atau sumpah serapah bagi siapa saja yang melanggar atau tidak mematuhi isi prasasti, serta doa keselamatan dan kesejahteraan bagi yang mematuhinya. Kutukan itu diungkapkan dalam berbagai pernyataan yang menyeramkan dan mengerikan. Misalnya : Semoga dikoyak-koyak badannya oleh para Desa, dicaplok harimau bila masuk hutan, dimakan buaya bila mandi di sungai, disambar petir bila hujan, dipathuk ular berbisa, disiksa Dewa Maut, dimasukkan dalam bejana penyiksaan (tamragumukha) di neraka nanti bila sudah mati.

Seperti halnya prasasti Hering, angka tahun yang dipahatkan sudah aus, dan angka yang masih cukup jelas menunjukkan angka 8 diikuti dua angka yang sudah kabur. Brandes membacanya 8 (5) 7 Saka (Brandes, 1913 : 84). Dikemudian hari bacaan itu diragukan ketepatannya oleh L.C. Damais, dan menurut penelitiannya angka tersebut haruslah dibaca 859 Saka (Damais, 1952: 60; 1955 : 156-158).

Walaupun unsure penanggalannya sudah aus, ada unsure lain yang dapat membantu pemecahannya, karena prasasti itu memuat nama raja yang mengeluarkannya, yaitu Pu Sindok. Sebagaimana prasasti Sindok di daerah Nganjuk yang lain, maklumatnya ditulis pada bagian muka dan belakang prasasti. Di bagian muka (recto) terdiri atas 49 baris, antara baris kelima sampai baris kedelapan sudah sangat aus, sehingga tidak terbaca lagi. Mulai awal baris kedua memuat unsure kalendriknya juga tidak terbaca karena keasusan hurufnya. Di bagian belakang (Verso) segaris dengan baris 23 berakhir pada baris ke-36, sebagai bagian yang memuat harapan agar yang dituliskan dalam prasasti ini, dipatuhi hingga akhir zaman.

Prasasti Candi Lor ini, juga dikenal dengan nama Prasasti Anjuk Ladang, menurut nama desa atau satuan wilayah yang disebutkan berkali-kali, dalam kaitan maksud pengeluaran prasasti tersebut (Sambandha). Berikut ini kami kutipkan bagian penting yang memuat unsur penanggalannya, raja serta para pejabat tinggi yang mendapat anugerah kedudukan sebagai Swantantra, dengan hak Sima. Menurut bacaan Brandes yang telah dibetulkan oleh Damais, sebagai berikut :

1.�� // swasti sakawarsatita 8 - caitramasa tithi dwadasi krsna paksa.ha--,--wa

2.�� ra . aisyanyastha -- -- -- satabhisanaaksatra. Barunadewata . brahmayoga. Kolawakarana irikadiwa.

3.�� sa ny ajna sri mharaja pu sindok sri isahawikrama dharmmotunggadewa tinadah rakryan mapinghai kalih rakai

4.�� hinmo pu sahasra rakai wka pu baliswara umingsor I rakai kanuruhan pu da kumonakan ikanang lmah sawah kakatikan

5.�� ...... sususkan ..... marpanakan I bhatar I sang hyang prasada kabhaktyan I dharma sangat anjuk lading pu ki -- -- (Damais, 1955 : 156-157)

6.�� .............. Sri maharaja I sri jayamrata ........

����� ........

����� ........ Sri maharaja bhatara....... sima pumpunana

7.�� ......... pratidina mangkana.................. sri maha raja ....... rikanang sawah kakatikan........

8.�� ...........n I bhatara I sang hyang I sang hyang prasada kabhaktyan I sri jayamerta mari ta yan lmah sawah kakatika

9.�� n iyanjukladang tutugani tanda sambandha ikanang rama iyanjukladang tutugani tanda kanugrahan de sri maharaja.............manglaga..( Brandes, 1913 : 84-85)

Dari kutipan sembilan baris tersebut diatas, akan dibahas beberapa data terpenting yang berhubungan dengan nama Nganjuk, serta data penanggalan tertua yang berkenaan dengan asal usul nama Nganjuk, atau sejarah tertua desa yang dalam perjalanan sejarahnya menjadi nama satuan wilayah administrastif Kabupaten Nganjuk sekarang.

Dari kutipan sembilan baris diatas, pertama, dapat diketahui nama raja serta para pejabat tinggi yang diperintah untuk melaksanakan keputusan raja, dalam kaitan maksud dikeluarkannya prasasti itu. Kedua, unsure penanggalan yang dapat dijadikan dasar sebagai bukti serta pendapat yang berhubungan dengan arti prasasti itu bagi sejarah daerah yang kelak menjadi Kabupaten Nganjuk.

����� 1.�� Prasasti Anjuk Ladang ini dikeluarkan oleh seorang raja yaitu Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmo-tunggadewa. Pejabat tinggi kerajaan yang menerima perintah disebutkan Rakai Hino Pu Sahasra dan rakai Wka Pu Baliswara. Perintah itu selanjutnya diteruskan kepada Rakai Kanuruhan Pu Da. Data tersebut juga tercantum dalam prasasti Hering tahun 856 Saka atau 934 Masehi, tanpa perbedaan sedikitpun.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa ada keistimewaan dari gelar raja Sindok yang dituliskan dalam prasasti yang ditempatkan di daerah Nganjuk, dibandingkan dengan prasasti ditempat lain dari masa yang lebih tua maupun dari zaman yang lebih muda.

Memang gelar Pu Sindok sebagai kepala negara dan kepala wilayah ditulis dengan berbagai sebutan yang tidak sama, sehingga menimbulkan kesan tidak konsisten. Ada kalanya ia disebutkan bersama dengan permaisurinya seperti dalam prasasti Cunggrang II tahun 851 Saka, Prasasti Geweg dari daerah Jombang tahun 855 Saka, walaupun angka tahunnya mungkin sekali 10 tahun lebih tua dari angka tahun yang tertulis di piagamnya. (L.C. Damais, 1952 : 58-59). Sebagian besar prasasti yang dikeluarkannya, mencantumkan gelar jabatan rakai Halu, rakai Hino bahkan rakryan Mapatih. Demikian pula nama diri sang raja sering ditulis dengan nama yang berbeda kecuali namanya sebagai wamsakarta atau pendiri dinasti, yaitu Sri Isanawikrama.

2.�� Unsur penanggalan yang ada kaitannya dengan Prasasti Anjuk Ladang, memang terdapat dua versi yang berbeda, khususnya tentang angka tahun. Dr.Brandes membacanya 857 Saka, Suklapaksa atau paro terang. (Brandes, 1913 : 84). Hasil bacaannya itu kemudian dikoreksi oleh L.C.Damais, bahwa Prasasti Anjuk Ladang dikeluarkan pada tahun 859 Saka bertepatan dengan Krsnapaksa. Ia juga berhasil menemukan unsure hari pekan (wara) yaitu (HA) riyang, dalam konteks tanggal 12 bulan Caitra. Dalam hal ini kedua pakar itu tidak berbeda pendapat, kecuali yang menyangkut saat siklus hari edar bulan antara Suklapaksa dan Krsnapaksa.

Dengan membandingkan seluruh prasasti semasa pemerintahan Pu Sindok yang dikeluarkan pada bulan Caitra Sukla tanggal 1 dan tanggal 12, dalam padanannya dengan tarikh Masehi, dapat disimpulkan sebagai berikut :

Tanggal 1 Sukla bulan Caitra tahun 857 Saka bersamaan dengan tanggal 8 Maret 935 Masehi. Pda tanggal 12 Krsnpaksa bulan Caitra, bertepatan dengan hari HA KA SU 3 April 935 atau tanggal WU U SA. Sementara itu tanggal 1 Sukla bulan Caitra tahun 859 Saka, jatuh pda tanggal 10 April 937 Masehi, dengan hari pekan HA PO SO atau WU WA ANG. Dalam Prasasti Anjuk Ladang itu unsure hari pekannya terbaca Ha atau Hari yang dalam pekan Sadwara, atas dasar data itu bersesuaian dengan PO atau Pon pekan Saptawara, serta bertepatan dengan hari SO atau Soma pekan Saptawara. Dengan demikian berdasarkan data penanggalan yang tercantum pada Prasasti Anjuk Ladang yaitu tanggal 12 bulan Caitra dengan hari pekan Hari yang jika tahunnya dibaca 857 Saka menurut Brandes, terdapat ketidaksesuaian antara unsure hari pekannya antara Sadwara, Pancawara dan Saptawara.

Oleh karena itu dengan menggunakan rumus perhitungan yang disusun oleh L.C.Damais, hari pertama tahun Saka 859, menurut siklus Wuku dengan system hari-hari pertama dimulai hari Tu = Tunglai Sadwara, PA = Pahing Pancawara, dan A = Aditya Saptawara, maka hari pertama tahun 937, jatuh pada hari kedua sesuai dengan Ha Sadwara, atau PO Pancawara, atau SO Saptawara. Atas dasar perhitungan tersebut, data penanggalan Prasasti Anjuk Ladang tanggal 12 Krsnapaksa Ha bulan Caitra tahun 859 Saka, bersesuaian dengan 10 April 937 Masehi. (Damais 1955 : 156-158).

3.�� Peristiwa apakah yang diungkapkan dalam Prasasti Anjuk Ladang dan apakah makna yang terungkap dalam prasasti itu dalam konteks sejarah Nusantara dan sejarah regional Jawa Timur pada awal abad X?

Berikut penafsiran yang pernah dikemukakan oleh pakar epigrafi dan sejarah klasik Indonesia, Pro.Dr.J.G.de Casparis, 34 tahun yang lalu.

".... Pada tahun 928 atau 929 atau satu dua tahun kemudian pasukan Melayu ialah daerah Jambi yang patuh kepada Sriwijaya mendarat di Jawa Timur. Pasukan itu sampai dekat Nganjuk, tetapi disana menderita kekalahan oleh laskar Jawa yang dipimpin oleh Pu Sindok. Peristiwa yang penting itu kita ketahui dari sebuah prasasti Sindok yang berangka tahun 937 (?). Prasasti itu mengenai sebatang tugu kemenangan (Jayastambha) bertempat di Anjuk Ladang, beberapa kilometer sebelah selatan kota Nganjuk yang sekarang. Peristiwa itu dapat menjelaskan dua soal yang sebelumnya tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan. Yang pertama mengenai kedudukan Pu Sindok yang oleh penyelidik lebih dulu dianggap sebagai teka-teki. Maklumlah karena nama Sindok sudah kita temui dalam beberapa prasasti sebelum pemerintahannya sebagai seorang pegawai tinggi (Rakai Halu dan Rakai Hino), tetapi tidak lazim di Jawa bahwa seorang prabu digantikan oleh menterinya. Akan tetapi pergantian luasr biasa. Andaikata kita berpendapat bahwa Sindoklah yang menjadi penyelamat negara selaku panglima perang, maka dapat dimengerti bahwa tahta kemudian diserhkan kepadanya."....

" Soal yang lain yang sekarang dapat dimengerti, ialah sebab perpindahan kraton ke Jawa Timur....Sekarang ternyata bahwa pemindahan itu dapat kita pahami sepenuhnya. Dalam taraf pertama raja-raja Mataram lama seperti Balitung sampai dengan Wawa, lebih mementingkan Jawa Timur daripada Jawa Tengah. Karena keinsyafan akan pentingnya perniagaan antarpulau. Dalam taraf yang kedua pemimpin-pemimpin Jawa memutuskan hanya akan membela bagian kerajaan yang dipentingkan itu. Lembah rendah sungai barat dari itu termasuk Jawa Tengah dibiarkan saja" (J.G.Casparis, 1958).

Hipotesa yang menggambarkan Prasasti Anjuk Ladang sebgaai suatu monumen kemenangan terhadap serangan musuh secara langsung tidak didukung oleh prasasti itu sendiri. Apalagi jika dikaitkan dengan jasa Pu Sindok sebagai penyelamat dan panglima perang, yang menjadikan ia dipromosikan sebagai raja. Ketika Sindok memerintahkan untuk menetapkan Watek Anjuk Ladang sebagai desa Swantantra, dalam kalimat : "����.sawah kakatikan iyanjukladang tutugani tanda swatantra", sehingga desa itu bebas dari pajak, ia telah menjadi raja selama 8 tahun. Dengan kata lain jika memang terbukti sima anjuk lading itu ada hubungannya dengan balas budi Sindok kepada penduduk watek Anjuk Ladang, ketika masih memangku jabatan Rakai Mapatih atau rakai Halu atau Hino, prasasti manakah yang memberikan keterangan tentang kemenangan terhadap musuh Sriwijaya itu? Tampaknya prasasti Kinawe dari raja Wawa (926-929) yang berasal dari daerah Berbek tidak memberi dukungan hipotesa tersebut.

Suatu data yang tidak diragukan adalah adanya hubungan antara penetapan swatantra kepada kepala desa (Rama) di Anjuk Ladang itu, dengan sebuah bangunan suci seorang tokoh yang cukup penting yaitu : bhatara I sang hyang prasada kabaktyan I dharma sngat pu anjukladang atau sangat anjuk lading. Bangunan suci itu juga disebut : sang prasada kabaktyan I sri jayamarta�.. Sima pumpunana bhatara (baris 6 dan 8). Sedangkan bangunan tugu kemenangan terdapat dalam kalimat : "sang hyang prasada ateherang jayastama." (14).

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa nama desa Anjuk Ladang berkaitan dengan pejabat Watek, Rama dan Samgat, serta bangunan suci Sri Jayamrata, barangkali sebuah Patirtan yang terletak tidak jauhdari Candi Lor sekarang. Ataukah bangunan yang disebut "sang hyang prasada kabaktyan I dharma samgat pu anjukladang" itu, pada abad X tidak lain Candi Lor sekarang. Di tempat candi itu berdiri terletak desa Candirejo, di situlah tahun 1913, ditemukan sejumlah patung perunggu yang menggambarkan pantheon Budhisme Mahayana, dari sekte yang khas mengungkapkan tradisi kerajaan setempat. (ROD 1913:59 gambar nomor : XII-XXIII). Penemuan arkeologis di sekitar desa Candirejo tempat Candi Lor itu berdiri, membuktikan bahwa di tempat itulah pada abad X merupakan Watek Anjuk Ladang, tempat berdirinya bangunan suci sang hyang prasada kabaktyan I anjukladang, yang tertulis dalam baris 27 prasasti Candi Lor itu. Nama itu hidup terus sejak 10 abad lalu dan dalam perjalanan sejarah tetap lestari meskipun dalam ucapan yang telah berubah.


HARI JADI NGANJUK : 10 APRIL 937

Dari kajian yang etrurai pada bagian muka, berikut ini diberikan beberapa tesis yang sekaligus merupakan kesimpulan untuk dijadikan landasan berpijak dalam penentuan Hari Jadi Nganjuk.

1.�� Ada tiga sumber epigrafis yang ditemukan didaerah Kabupaten Nganjuk sekarang, yaitu : Prasasti Kinawe dari Tanjung Kalang, Prasasti Hering dari Kujon Manis, Warujayeng dan Prasasti Anjukladang dari desa Candirejo.

Prasasti Kinawe merupakan sumber tertulis paling tua yang ditemukan di daerah Kabupaten Nganjuk, yang memuat nama Sri Maharaja Wawa. Prasasti ini diumumkan bertepatan dengan tahun Masehi, hari Kamis Wage, bulan November 928. Walaupun prasasti ini termasuk sumber tertulis paling tua yang dikeluarkan oleh ibunya Dyah Bingah, tidak memuat data yang dapat dihubungkan dengan sejarah pemerintah Kabupaten Nganjuk secara langsung. Didalamnya memuat pembebasan Desa Kinawe dari pungutan pajak, serta mendapat hak sebagai desa Sima. Didalamnya juga memuat nama Pu Sindok Sri Isana Wikrama sebagai rakryan Mapatih, pada masa pemerintahan Sri Maharaja Wawa. Prasasti ini tidak mengungkapkan peranan Pu Sindok, sebagai panglima diisyaratkan dalam hipotesa Prof.J.G.de Casparis (de Casparis, 1958). Atas dasar kenyataan itu prasasti ini tidak dapat dijadikan landasan yang kuat untuk dipilih sebagai hari jadi Kabupaten Nganjuk.

2.�� Prasasti Hering, dari Kujon Manis daerah Warujayeng, Nganjuk timur. Prasasti ini dikeluarkan pada hari Kamis Wage, 22 Mei 934, oleh Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa, berisi antara lain tentang jual beli tanah sawah.

Dalam sumber tertulis inipun tidak menyebutkan toponimi yang secara langsung dapat dikaitkan dengan nama Nganjuk, baik sebagai nama wilayah maupun nama pusat pemerintahan yang berhubungan dengan Kabupaten Nganjuk sekarang. Nama Hering, Marganung, Kadangan, Hujung, walaupun nama tersebut mungkin sama dengan keringan, Ganung , Kandangan dan Ngujung, namun kurang memenuhi criteria sebagai sumber untuk dijadikan dasar penemuan Hari Jadi Nganjuk.

3.�� Prasasti Anjuk Ladang, dari kompleks reruntuhan Candi Lor, desa Candirejo, merupakan sumber tertulis tertua yang memuat toponimi Anjukladang sebagai satuan territorial Watek, yang dikepalai seorang Samgat dan seorang Rama. Prasasti ini dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok Isanawikrama Dharmmotunggadewa, serta nama para pejabat tinggi kraton maupun pejabat daerah. Prasasti ini memuat desa Anjukladang yang dianugerahi status otonomi atau swantantra serta daerah yang Anjukladang sebagai perdikan, dikaitkan dengan pemeliharaan bangunan suci bernama: Sang Hyang Prasada Kabaktyan I Sri� Jamrata I Anjuk Ladang. Disamping itu juga dikaitkan dengan suatu monumen kemenangan, berupa Jayastamba.

Prasasti Candi Lor ini dibandingkan dengan prasasti Kinawe dan Hering, lebih memiliki nilai histories dan arkeologis, karena memuat nama desa Anjukladang, yang dalam perkembangan sejarah di daerah itu selama 10 abad masih tetap bertahan, walaupun telah mengalami perubahan ucapan. Namun tidak dapat disangkal, bahwa ada kedekatan yang menunjukkan kedekatan ucapan dengan nama Nganjuk.

Berdasarkan data epigrafis itu, tahun penetapan anugrah watek Anjukladang, sebagai desa swatantra dapat dipilih untuk Hari Jadi Nganjuk. Menurut unsure penanggalannya, maka tanggal 12 bulan Citra, Krsnapaksa. HA PO SO, bertepatan dengan tahun Masehi: 10 April 937. Itulah tanggal yang sesuai dan layak sebagai Hari Jadi Nganjuk.


ASAL MULA NAMA NGANJUK

Menurut cerita rakyat yang masih hidup di kalngan penduduk setempat, bahwa desa tempat didirikannya Candi Lor dahulu bernama Desa Nganjuk, yang berasal dari kata ANJUK. Tetapi setelah Nganjuk dipergunakan untuk nama daerah yang lebih luas, maka nama desa tersebut diubah namanya menhadi "Tanggungan". Tanggungan berasal dari kata "Ketanggungan" (Jawa:mertanggung). Istilah ini mengandung makna, bahwa nama Nganjuk tanggung untuk digunakan sebagai nama dari desa tersebut karena sudah digunakan nama bagi daerah yang lebih luas. Oleh karena itu sudah tidak berarti lagi (tanggung atau mertanggung) desa sekecil itu disebut Nganjuk.

Mengenai arti dan makna dari kata : Anjuk Ladang, Prof.Dr.J.G.de Casparis menjelaskan sebagai berikut :

Anjuk � : Berarti tinggi, tempat yang tinggi atau dalam arti simbolis adalah : mendapat kemenangan yang gilang gemilang.

Ladang ���������� : Berarti tanah atau daratan.

Dari latar belakang sejarah dapat diinterpretasikan bahwa Nganjuk dahulu diambil dari nama sebuah tempat atau desa : Anjuk Ladang. Kemudian, karena memiliki nilai sejarah tentang kepahlawanan prajurit-prajurit dibawah kepemimpinan Pu Sindok dapat menaklukkan bala tentara dari kerajaan Sriwijaya, maka kemudian "Nganjuk" diabadikan sebagai nama daerah/wilayah yang lebih luas dan tidak hanya nama sebuah desa kecil, yakni Kabupaten Nganjuk yang sekarang ini. Nganjuk yang diambil dari kata Anjuk berarti "Kemenangan dan Kejayaan".






















































LAMBANG NGANJUK


Lambang Daerah terdiri atas 4 bagian, yaitu :

a. Dasar Lambang

b. Bagian atas, berisi gambar bintang bersudut 5

c. Bagian tengah dan samping berisi gambar-gambar sebagai berikut :

Pita bertuliskan BASWARA YUDHIA KARANA
Rantai berbentuk lingkaran
Gunung dan air terjun
Sawah dan sungai
Padi dan kapas
Pohon beringin dalam segilima beraturan
Sayap


d. Bagian bawah berisi :

Pita bertuliskan angka JAWA

Pita bertuliskan NGANJUK


“Secara garis besar, makna lambang NGANJUK” tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Perisai bersudut lima berdasar biru dan bertepi putih melambangkan jiwa kerakyatan, kesetiaan dan kesucian masyarakat Nganjukyang selalu siaga dalam menghadapi segala tantangan. Bintang bersudut lima berwarna emas melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, cita-cita luhur dan suci sebagai pedoman perjuangan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur.

BASWARA YUDHIA KARANA artinya cemerlang karena perjuangan.


Rantai berbentuk lingkaran melambangkan kebulatan tekad rakyat Nganjuk, yang dilandasi semangat perjuangan dan persatuan. Tiga puncak gunung berwarna hitam memiliki arti filosofis “Tri Dharma Amerta” dan secara historis menunjukkan Jaman Kejayaan Nasional, Jaman Penjajahan dan Jaman Kemerdekaan. Gunung, malambangkan sumber kekayaan alam air terjun sedudo adalah air suci pemberian Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan rahmat untuk dinikmati oleh umat-Nya. Sawah mengandung makna kemakmuran, dan sungai juga bermakna kemakmuran dan kesuburan. Gunung berpuncak tiga, sawah dan sungai digambarkan dalam rantai yang berbentuk lingkaran, itu mempunyai makna : “Dengan tekad yang bulat dan kekayaan alam yang melimpah memberikan keyakinan kepada masyarakat Nganjuk untuk berjuang mewujudkan tercapainya masyarakat adil dan makmur”.


Padi dan kapas melambangkan pangan dan sandang yang menjadi kebutuhan pokok rakyat sehari-hari. Jumlah padi 17 butir, kapas 8 buah, daun padi 4 helai, daun kapas 5 helai mencerminkan semangat dan jiwa proklamasi 17-8-45. Pohon beringin berdaun lima kelompok dalam segi lima beraturan bermakna : pengayoman, perlindungan dan perdamaian, serta juga menggambarkan adanya lima wilayah kerja pembantu bupati. Sayap dengan 20 helai bulu berwarna emas melambangkan wilayah daerah terdiri dari 20 kecamatan. Pita bertuliska angka Jawa yang mengikat dua pangkal sayap mewujudkan angka 937 M, yang merupakan ditetapkannya tahun hari jadi Nganjuk.


Secara keseluruhan, lambang daerah ini mengandung makna sebagai berikut :

“Dengan semangat dan jiwa proklamasi 17-8-45 rakyat Nganjuk yang telah tumbuh dan berkembang sejak tahun 937 M, bersama Pemerintah Daerah yang berwibawa bertekad bulat untuk berjuang terus dengan segala potensi daerahnya, sehingga tercapai cita-cita luhur, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.